* * *
Kisah berikut diambil dari kisah nyata tragedi pesawat Challenger. Kisah nyata ini semoga dapat menjadi sumber motivasi bagi kita semua yang mungkin saat ini belum mencapai apa yang anda inginkan atau sedang mengalami sesuatu yang mungkin tidak anda inginkan.
Semua dimulai dari impianku. Aku ingin menjadi astronot. Aku ingin terbang ke luar angkasa. Tetapi aku tidak memiliki sesuatu yang tepat. Aku tidak memiliki gelar. Dan aku bukan pilot.
Namun, sesuatu pun terjadilah. Gedung putih mengumumkan mencari warga biasa untuk ikut dalam penerbangan 51-L pesawat ulang-alik Challanger. Dan warga itu adalah seorang guru. Aku warga biasa, dan aku seorang guru.
Hari itu juga aku mengirimkan surat lamaran ke Washington.
Setiap hari aku berlari ke kotak pos. Akhirnya datanglah amplop resmi berlogo NASA.
Doaku terkabulkan! Aku lolos penyisihan pertama!
Ini benar-benar terjadi padaku. Selama beberapa minggu berikutnya, perwujudan impianku semakin dekat saat NASA mengadakan test fisik dan mental. Begitu test selesai, aku menunggu dan berdoa lagi. Aku tahu aku semakin dekat pada impianku. Beberapa waktu kemudian, aku menerima panggilan untuk mengikuti program latihan astronot khusus di Kennedy Space Center.
Dari 43.000 pelamar, kemudian 10.000 orang, dan kini aku menjadi bagian dari 100 orang yang berkumpul untuk penilaian akhir. Ada simulator, uji klaustrofobi, latihan ketangkasan, percobaan mabuk udara.
Siapakah di antara kami yang bisa melewati ujian akhir ini?
Tuhan, biarlah diriku yang terpilih, begitu aku berdoa.
Lalu tibalah berita yang menghancurkan itu.
NASA memilih Christina McAufliffe!
Aku kalah. Impian hidupku hancur!
Aku mengalami depresi. Rasa percaya diriku lenyap, dan amarah menggantikan kebahagiaanku. Aku mempertanyakan semuanya. Kenapa Tuhan? Kenapa bukan aku? Bagian diriku yang mana yang kurang? Mengapa aku diperlakukan kejam?
Aku menangis di pangkuan ayahku. Aku merasa remuk-redam. Sangat sedih dan amat kecewa. Dengan bijaksana, ayahku menghibur, seraya memelukku, “Anakku... semua terjadi karena satu alasan....”
Dan alasan itu terwujud pada Selasa, 28 Januari 1986. Saat itu, Aku dan teman-temanku berkumpul untuk menyaksikan peluncuran pesawat ruang angkasa Challenger.
Saat pesawat melewati landasan pacu, Aku mengeluh dalam doa, “Tuhan... padahal aku bersedia melakukan apa saja agar bisa berada di dalam pesawat itu. Tapi mengapa bukan aku yang terpilih untuk berada di sana sekarang ini?”
Saat pesawat itu melewati menara landasan pacu, aku menantang impianku untuk terakhir kali. Tuhan, aku bersedia melakukan apa saja agar berada di dalam pesawat itu. Kenapa bukan aku?
Tujuh puluh detik kemudian, Tuhan menjawab doaku dengan dentuman hebat di angkasa. Api terlontar ke segala penjuru. Seluruh mata yang menyaksikan peristiwa itu seketika terbelalak dengan hati tercekat. Pesawat ulang alik Challenger meledak dan menewaskan semua antariksawan yang ada di dalamnya. Aku terkesima dengan hati dan jantung tergugu. Maka terhapuslah keraguanku pada kuasa Tuhan.
Aku teringat kata-kata ayahku,
"Semua terjadi karena suatu alasan."
Aku tidak terpilih dalam penerbangan itu, walaupun aku sangat menginginkannya karena Tuhan memiliki alasan lain untuk kehadiranku di bumi ini. Aku memiliki misi lain dalam hidup.
Aku tidak kalah; aku seorang pemenang.
Aku menang karena aku telah kalah.
Aku, Frank Slazak, masih hidup untuk bersyukur pada Tuhan karena tidak semua do'aku dikabulkan.
0 comments:
Post a Comment