Thursday, January 9, 2014
Belajar dari Malaikat Kecilku
Istriku berkata kepada aku yang sedang baca koran, “Berapa
lama lagi kamu baca koran itu? Tolong kamu ke sini dan bantu anak perempuanmu
tersayang untuk makan.”
Aku taruh koran dan melihat anak perempuanku satu-satunya,
namanya Marie tampak ketakutan, air matanya mengalir. Di depannya ada semangkuk
nasi berisi nasi kari ayam.
Marie anak yang manis dan termasuk pintar dalam usianya yang
baru 8 tahun. Dia sangat tidak suka makan nasi kari ayam ini. Ibu dan istriku
masih kuno, mereka percaya sekali kalau makan nasi kari ayam ada “healthy
effect”.
Aku mengambil mangkok dan berkata, “Marie sayang, demi ayah,
maukah kamu makan beberapa sendok nasi kari ayam ini? Kalau tidak, nanti ibumu
akan teriak-teriak sama ayah.”
Aku bisa merasakan istriku cemberut di belakang punggungku.
Tangis Marie mereda dan ia menghapus air mata dengan tangannya, dan berkata,
“Saya makan nasi kari ayam ini tidak hanya beberapa sendok tapi semuanya akan
saya habiskan, tapi saya ingin minta sesuatu.”
Agak ragu sejenak “akan minta sesuatu sama ayah bila habis
semua nasinya. Apakah ayah mau berjanji memenuhi permintaan saya?” Aku
menjawab, “Oh…pasti, sayang.”
Marie tanya sekali lagi, “Betul nih ayah?”
“Ya pasti!” sambil menggenggam tangan anakku yang kemerah
mudaan dan lembut sebagai tanda setuju.
Marie juga mendesak ibunya untuk janji hal yang sama,
istriku menepuk tangan Marie yang merengek sambil berkata tanpa emosi,
"janji" kata istriku. Aku sedikit khawatir dan berkata, “Marie jangan
minta komputer atau barang-barang lain yang mahal yah, karena ayah saat ini
tidak punya uang.”
Marie menjawab, “Jangan khawatir, Marie tidak minta barang
mahal kok.” Kemudian Marie dengan perlahan-lahan dan kelihatannya sangat
menderita, dia bertekad menghabiskan semua nasi kari ayam itu. Dalam hati aku
marah sama istri dan ibuku yang memaksa Marie untuk makan sesuatu yang tidak
disukainya.
Setelah Marie melewati penderitaannya, dia mendekatiku
dengan mata penuh harap, dan semua perhatian (aku, istriku dan juga ibuku)
tertuju kepadanya. Ternyata Marie mau kepalanya digundulin/dibotakin pada hari
Minggu.
Istriku spontan berkata, “Permintaan gila, anak perempuan
dibotakin, tidak mungkin.” Juga ibuku menggerutu jangan-jangan terjadi dalam
keluarga kita, dia terlalu banyak nonton TV dan program TV itu sudah merusak
kebudayaan kita.
Aku coba membujuk, “Marie kenapa kamu tidak minta hal yang
lain kami semua akan sedih melihatmu botak.” Tapi Marie tetap dengan pilihannya,
“Tidak ada yah, tak ada keinginan lain,” kata Marie. Aku coba memohon kepada
Marie, “Tolonglah…kenapa kamu tidak mencoba untuk mengerti perasaan kami.”
Marie dengan menangis berkata, “Ayah sudah melihat bagaimana
menderitanya saya menghabiskan nasi kari ayam itu dan ayah sudah berjanji untuk
memenuhi permintaan saya. Kenapa ayah sekarang mau menarik janji sendiri?
Bukankah Ayah sudah mengajarkan pelajaran moral, bahwa kita harus memenuhi
janji kita terhadap seseorang apa pun yang terjadi.”
Sekarang aku memutuskan untuk memenuhi permintaan anakku,
“Janji kita harus ditepati.” Secara serentak istri dan ibuku berkata, “Apakah
kamu sudah gila?” “Tidak,” jawabku, “Kalau kita menjilat ludah sendiri, dia
tidak akan pernah belajar bagaimana menghargai dirinya sendiri. Marie,
permintaanmu akan kami penuhi.”
Akhirnya permintaan Marie dikabulkan. Dengan kepala botak,
wajah Marie nampak bundar dan matanya besar dan bagus.
Hari Senin, aku mengantarnya ke sekolah, sekilas aku melihat
Marie botak berjalan ke kelasnya dan melambaikan tangan kepadaku. Sambil
tersenyum aku membalas lambaian tangannya.
Tiba-tiba seorang anak laki-laki keluar dari mobil sambil
berteriak, “Marie tolong tunggu saya.” Yang mengejutkanku ternyata, kepala anak
laki-laki itu botak.
Aku berpikir mungkin ”botak” model zaman sekarang. Tanpa
memperkenalkan dirinya, seorang wanita keluar dari mobil dan berkata, “Anak
anda, Marie benar-benar hebat. Anak laki-laki yang jalan bersama-sama dia
sekarang, Jonathan adalah anak saya. Dia menderita kanker leukemia.” Wanita itu
berhenti sejenak, menangis tersedu-sedu.
“Bulan lalu Jonathan tidak masuk sekolah, karena pengobatan
kemoterapi kepalanya menjadi botak, jadi dia tidak mau pergi ke sekolah takut
diejek dan dihina oleh teman-teman sekelasnya. Nah Minggu lalu Marie datang ke
rumah dan berjanji kepada anak saya untuk mengatasi ejekan yang mungkin
terjadi. Hanya saya betul-betul tidak menyangka kalau Marie mau mengorbankan
rambutnya yang indah untuk anakku Jonathan. Tuan dan istri tuan sungguh
diberkati Tuhan mempunyai anak perempuan yang berhati mulia.”
Aku berdiri terpaku dan aku menangis, “Malaikat kecilku,
tolong ajarkanku tentang kasih.”
Cinta tidak hanya kepada Tuhan, dan tidak hanya kepada diri
sendiri tetapi cinta juga dapat diberikan ke sesama makhluk hidup terutama
kepada sesama manusia lain seperti "kasih" Marie terhadap Jonathan.
Melalui kasih dan kemurahan hati kepada sesama kita, kita menabur kasih bagi
diri kita juga. Ingatlah bahwa Allah mengamati apa yang kita perbuat dalam
kehidupan kita. Allah mengamati kita apakah perbuatan kita sesuai dengan
kasihNya kepada kita. Kasih yang sempurna memancarkan kebaikan bagi setiap
orang yang bersentuhan dengannya.
0 comments:
Post a Comment