Friday, November 14, 2014

Gajah Dan 7 Orang Buta

Dahulu kala, terdapatlah seorang raja yang mengalami kerepotan dengan para menterinya. Mereka terlalu banyak berbantah sehingga nyaris tak satupun keputusan dapat diambil. Para menteri itu mengikuti tradisi politik kuno, masing-masing menyatakan bahwa dirinyalah yang paling benar dan yang lainnya salah. Meskipun demikian, ketika sang raja yang penuh kuasa menggelar perayaan festival umum, mereka semua bisa sepakat untuk cuti bersama.

Festival yang luar bisa itu digelar di sebuah stadion besar. Ada nyanyian dan tarian, akrobat, badut, musik dan banyak lagi. Dan di puncak acara, di kerumunan banyak orang, dengan para menteri yang tentunya menempati tempat duduk terbaik, sang raja menuntun sendiri gajah ke tengah arena. Di belakang gajah itu berjalanlah tujuh orang buta yang telah diketahui oleh umum sebagai orang-orang yang buta sejak lahir.

Sang raja meraih tangan orang buta pertama, menuntunnya untuk meraba belalai gajah itu dan memberitahunya bahwa itulah gajah. Raja lalu membantu orang buta kedua untuk meraba gading sang gajah, orang buta ketiga meraba kupingnya, yang keempat meraba kepalanya, yang kelima meraba badannya, yang keenam meraba kaki, dan yang ketujuh meraba ekornya, lalu menyatakan kepada masing-masing orang buta bahwa itulah yang dinamakan gajah.

Lalu raja kembali kepada si buta pertama dan memintanya untuk menyebutkan dengan lantang seperti apakah gajah itu.

"Menurut pertimbangan dan pendapat saya yang ahli ini," kata si buta pertama, yang meraba belalai gajah, "saya nyatakan dengan keyakinan penuh bahwa seekor ‘gajah’ adalah sejenis ular, marga python asiaticus."

"Sungguh omong kosong," seru si buta kedua yang meraba gading gajah. "Seekor ‘gajah’ terlalu keras untuk dianggap sebagai seeokr ular. Fakta sebenarnya, dan daya tak pernah salah, gajah itu seperti bajak petani."

"Jangan melucu," cemooh si buta ketiga yang meraba kuping gajah. "Seekor ‘gajah’adalah seperti daun kipas yang besar."

"Kalian idiot tak berguna!" tawa si buta keempat yang meraba kepala gajah. "Seekor ‘gajah’sudah pasti adalah sebuah gentong air yang besar."

"Mustahil! Benar-benar mustahil!," cibir si buta kelima yang meraba badan gajah. "Seekor ‘gajah’adalah sebuah batu karang besar."

"Dasar orang-orang picik!" seringai si buta terakhir yang meraba ekor gajah. "Aku akan memberitahu kalian apa sebenarnya ‘gajah’ itu. Seekor gajah adalah semacam pecut pengusir lalat. Aku tahu, aku dapat merasakannya."

"Sampah! Gajah itu seekor ular.". "Tidak bisa! Itu gentong air!". "Bukan! Gajah itu… " Dan para buta itu pun mulai berbantah dengan sengitnya, semuanya bicara berbarengan, menyebabkan kata-kata melebur menjadi teriakan-teriakan yang lantang dan panjang. Tatkala kata-kata penghinaan mulai mengudara, lantas datanglah jotosan. Para buta itu tidak yakin betul siapa yang mereka jotos, tetapi tampaknya itu tidak terlalu penting dalam tawuran semacam itu. Mereka sedang berjuang demi pronsip, demi integritas, demi kebenaran. Kebenaran masing-masing pada kenyataannya.

Saat prajurit raja melerai tawuran membuta diantara orang-orang buta itu, kerumunan hadirin di stadion terpaku diam dan wajah para menteri tampak malu. Setiap orang yang hadir menangkap pesan yang ingin disampaikan oleh raja melalui pelajaran itu.

Seringkali kita tidak memahami sesuatu kebenaran di Alkitab secara keseluruhan, kita bahkan lebih suka melihatnya sebagian-sebagian, padahal maknanya jelas melenceng dari kebenaran yang sesungguhnya dan kebenaran yang sesungguhnya itu seringkali hanya dapat diperoleh melalui penyelidikan dan pengetahuan yang lengkap terhadap suatu konteks pelajaran yang dipelajari.

0 comments:

Post a Comment