Wednesday, October 10, 2012

2 Bayi dalam Palungan


Di tahun 1994, dua orang Amerika menanggapi undangan Departemen Pendidikan Rusia untuk mengajar Moral dan Etika berdasarkan prinsip-prinsip Alkitab di sekolah-sekolah umum. Mereka diundang mengajar di penjara, kantor, departemen kepolisian, pemadam kebakaran, dan di sebuah tempat yatim piatu yang besar.

Ada sekitar 100 anak laki-laki dan perempuan penghuni di situ, yang terbuang, ditinggalkan dan sekarang ditampung dalam program pemerintah. Beginilah kisah dalam penuturan mereka: Waktu itu mendekati musim libur tahun 1994, sewaktu anak-anak yatim piatu kita – untuk pertama kalinya – mendengar kisah Natal. Kami cerita soal Maria dan Yusuf, yang sesampai di Bethlehem, sebab tak mendapat penginapan, lalu pergi ke sebuah kandang binatang, di mana bayi Yesus lahir dan diletakkan dalam sebuah palungan. Sepanjang cerita itu, anak-anak maupun staf rumah yatim itu terpukau diam, terpaku takjub mendengarkan. Beberapa di antaranya bahkan duduk di ujung depan sekali kursi mereka seakan agar bisa lebih menangkap tiap kata.

Seusai cerita, semua anak-anak kami beri tiga potong kertas karton untuk membuat palungan, juga sehelai kertas persegi, dan sedikit sobekan kertas napkin berwarna kuning yang kami bawa. Maklum, masa itu kertas berwarna sedang langka di kota ini. Sesuai petunjuk anak-anak itu menyobek kertasnya, lantas dengan hati-hati, menyusun sobekan pita-pita seakan-akan itu jerami kuning di palungan.

Potongan kecil kain flanel digunting dari gaun malam bekas dari seorang ibu Amerika saat meninggalkan Rusia – dipakai sebagai selimut kecil bayi itu. Bayi mirip bonekapun digunting dari lembaran kulit tipis yang kami bawa dari Amerika. Mereka semua sibuk menyusun palungan masing-masing saat aku berjalan keliling, memperhatikan kalau-kalau ada yang butuh bantuan. Semuanya kelihatan beres, sampai aku tiba di meja si kecil Misha (seorang anak laki-laki). Kelihatannya ia sekitar 6 tahun dan sudah menyelesaikan proyeknya.

Sewaktu kulihat palungan bocah kecil ini, saya heran bahwa bukannya satu, melainkan ada dua bayi di dalamnya. Cepat kupanggil penterjemah agar menanyai anak ini kenapa ada dua bayi. Dengan melipat tangannya dan mata menatap hasil karyanya, anak ini mulai mengulang kisah Natal dengan amat serius. Untuk anak semuda dia yang baru sekali mendengar kisah Natal, ia mengurutkan semua kejadian demikian cermat dan telitinya – sampai pada bagian kisah di mana Maria meletakkan bayi itu ke dalam palungan. Di sini si Misha mengubahnya.

Ia membuat penutup akhir kisah ini demikian: "Sewaktu Maria menaruh bayi itu di palungan, Yesus lalu melihat aku dan bertanya apa aku punya tempat tinggal. Aku bilang aku tak punya mama dan tak punya papa, jadi aku tak punya tempat untuk tinggal. Lalu Yesus bilang aku sih boleh tinggal sama dia. Tapi aku bilang tidak bisa, sebab aku kan tidak punya apa-apa yang bisa kuberikan sebagai hadiah seperti orang-orang Majus dalam kisah itu. Tapi aku begitu ingin tinggal bersamanya, jadi aku pikir, apa yah yang aku punya yang bisa dijadikan hadiah. Aku pikir barangkali kalau aku bantu menghangatkan dia, itu bisa jadi hadiah."

"Jadi aku bertanya pada Yesus, "Kalau aku menghangatkanmu, cukup tidak itu sebagai kado?" Dan Yesus menjawab, "Kalau kamu menjaga dan menghangatkan aku, itu bakal menjadi hadiah terbaik yang pernah diberikan siapapun padaku." Jadi begitu, terus aku masuk dalam palungan itu, lantas Yesus melihatku dan bilang aku boleh kok tinggal bersamanya – untuk selamanya."

Saat si kecil Misha berhenti bercerita, air matanya menggenang meluber jatuh membasahi pipinya yang kecil. Wajahnya ditutupi dengan tangannya, kepalanya ia jatuhkan ke meja and seluruh tubuh dan pundaknya gemetar saat ia menangis tersedu. Yatim piatu kecil ini telah menemukan seseorang yang takkan pernah melupakan atau meninggalkannya, yang takkan pernah berbuat jahat padanya, seseorang yang akan tetap tinggal dan menemaninya – untuk selamanya.

0 comments:

Post a Comment