Monday, March 18, 2013
3 Karung Beras
Ini adalah makanan yang tidak bisa dibeli dengan uang. Kisah
ini adalah kisah nyata sebuah keluarga yang sangat miskin, yang memiliki
seorang anak laki-laki.
Sang ayah sudah meninggal dunia, tinggallah ibu dan anak
laki-lakinya untuk saling menopang. Sang ibu bersusah payah seorang diri untuk
membesarkan anaknya, saat itu di kampung tersebut belum ada listrik.
Saat membaca buku, sang anak diterangi sinar lampu minyak,
sedangkan ibunya dengan penuh kasih menjahitkan baju untuk sang anak. Saat
memasuki musim gugur, sang anak memasuki sekolah menengah atas.
Tetapi justru saat itulah ibunya menderita penyakit rematik
yang parah sehingga tidak bisa lagi bekerja di sawah. Saat itu setiap bulannya
murid-murid diharuskan membawa tiga puluh kg beras untuk dibawa ke kantin
sekolah. Sang anak mengerti bahwa ibunya tidak mungkin bisa memberikan tiga
puluh kg beras tersebut. Dan kemudian berkata kepada ibunya: " Ma, saya
mau berhenti sekolah dan membantu mama bekerja disawah."
Ibunya mengelus kepala anaknya dan berkata: "Kamu
memiliki niat seperti itu mama sudah senang sekali tetapi kamu harus tetap
sekolah. Jangan khawatir, kalau mama sudah melahirkan kamu, pasti bisa merawat
dan menjaga kamu. Cepatlah pergi daftarkan kesekolah nanti berasnya mama yang
akan bawa kesana." Karena sang anak tetap bersikeras tidak mau
mendaftarkan kesekolah, mamanya menampar sang anak tersebut.
Dan ini adalah pertama kalinya sang anak ini dipukul oleh
mamanya. Sang anak akhirnya pergi juga ke sekolah. Sang ibunya terus berpikir
dan merenung dalam hati sambil melihat bayangan anaknya yang pergi menjauh.
Tak berapa lama, dengan terpincang-pincang dan nafas
tergesa-gesa ibunya datang ke kantin sekolah dan menurunkan sekantong beras
dari bahunya. Pengawas yang bertanggung jawab menimbang beras, membuka
kantongnya, mengambil segenggam beras lalu menimbangnya dan berkata:
"Kalian para wali murid selalu suka mengambil keuntungan kecil, kalian
lihat, disini isinya campuran beras dan gabah. Jadi kalian kira kantin saya ini
tempat penampungan beras campuran."
Sang ibu ini pun malu dan berkali-kali meminta maaf kepada
ibu pengawas tersebut. Awal bulan berikutnya sang ibu memikul sekantong beras
dan masuk kedalam kantin. Ibu pengawas seperti biasanya mengambil sekantong
beras dari kantong tersebut dan melihat. Dengan alis yang mengerut dan berkata:
"Masih dengan beras yang sama."
Pengawas itupun berpikir, apakah kemarin itu dia belum
berpesan dengan ibu ini dan kemudian berkata: "Tak perduli beras apapun
yang ibu berikan kami akan terima tapi jenisnya harus dipisah jangan dicampur
bersama, kalau tidak maka beras yang dimasak tidak bisa matang sempurna.
Selanjutnya kalau begini lagi, maka saya tidak bisa menerimanya."
Sang ibu sedikit takut dan berkata: "Ibu pengawas,
beras dirumah kami semuanya seperti ini jadi bagaimana?" Pengawas itu pun
tidak mau tahu dan berkata: "Ibu punya berapa hektar tanah sehingga bisa
menanam bermacam-macam jenis beras." Menerima pertanyaan seperti itu sang
ibu tersebut akhirnya tidak berani berkata apa-apa lagi.
Awal bulan ketiga, sang ibu datang kembali kesekolah. Sang
pengawas kembali marah besar dengan kata-kata kasar dan berkata: "Kamu
sebagai mama kenapa begitu keras kepala, kenapa masih tetap membawa beras yang
sama. Bawa pulang saja berasmu itu !"
Dengan berlinang air mata sang ibu pun berlutut di depan
pengawas tersebut dan berkata: "Maafkan saya bu, sebenarnya beras ini saya
dapat dari mengemis." Setelah mendengar kata sang ibu, pengawas itu kaget
dan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Sang ibu tersebut akhirnya duduk diatas
lantai, menggulung celananya dan memperlihatkan kakinya yang sudah mengeras dan
membengkak.
Sang ibu tersebut menghapus air mata dan berkata: "Saya
menderita rematik stadium terakhir, bahkan untuk berjalan pun susah, apalagi
untuk bercocok tanam. Anakku sangat mengerti kondisiku dan mau berhenti sekolah
untuk membantuku bekerja di sawah. Tapi saya melarang dan menyuruhnya
bersekolah lagi."
Selama ini dia tidak memberi tahu sanak saudaranya yang ada
dikampung sebelah. Lebih-lebih takut melukai harga diri anaknya. Setiap hari
pagi-pagi buta dengan kantong kosong dan bantuan tongkat pergi ke kampung
sebelah untuk mengemis. Sampai hari sudah gelap pelan-pelan kembali ke kampung
sendiri. Sampai pada awal bulan semua beras yang terkumpul diserahkan ke
sekolah.
Pada saat sang ibu bercerita, secara tidak sadar air mata
Pengawas itupun mulai mengalir, kemudian mengangkat ibu tersebut dari lantai
dan berkata: "Bu, sekarang saya akan melapor kepada kepala sekolah, supaya
bisa diberikan sumbangan untuk keluarga ibu." Sang ibu buru- buru menolak
dan berkata: "Jangan, kalau anakku tahu ibunya pergi mengemis untuk
sekolah anaknya, maka itu akan menghancurkan harga dirinya. Dan itu akan
mengganggu sekolahnya. Saya sangat terharu dengan kebaikan hati ibu pengawas,
tetapi tolong ibu bisa menjaga rahasia ini."
Akhirnya masalah ini diketahui juga oleh kepala sekolah.
Secara diam-diam kepala sekolah membebaskan biaya sekolah dan biaya hidup anak
tersebut selama tiga tahun. Setelah tiga tahun kemudian, sang anak tersebut
lulus masuk ke perguruan tinggi qing hua dengan nilai 627 point.
Di hari perpisahan sekolah, kepala sekolah sengaja
mengundang ibu dari anak ini duduk di tempat duduk utama. Ibu ini merasa aneh,
begitu banyak murid yang mendapat nilai tinggi, tetapi mengapa hanya ibu ini
yang diundang. Yang lebih aneh lagi disana masih terdapat tiga kantong beras.
Pengawas sekolah tersebut akhirnya maju kedepan dan
menceritakan kisah sang ibu ini yang mengemis beras demi anaknya bersekolah.
Kepala sekolah pun menunjukkan tiga kantong beras itu dengan
penuh haru dan berkata: "Inilah sang ibu dalam cerita tadi." Dan
mempersilakan sang ibu tersebut yang sangat luar biasa untuk naik ke atas
mimbar.
Anak dari sang ibu tersebut dengan ragu-ragu melihat ke belakang
dan melihat gurunya menuntun mamanya berjalan keatas mimbar. Sang ibu dan sang
anakpun saling bertatapan. Pandangan mama yang hangat dan lembut kepada
anaknya. Akhirnya sang anak pun memeluk dan merangkul erat mamanya dan berkata:
"Oh Mamaku...... "
0 comments:
Post a Comment